SUAMI YANG POSESIF



Suami Posesif
--------------------------
"Enak ya, pulang kerja langsung leyeh-leyeh." Bang Faiz menghampiriku yang tengah duduk melepaskan kaos kaki dengan perlahan.

"Maaf Bang, aku ngantuk sekali habis jaga malam. Malam ini pasien anak lumayan banyak, sulit pula nginfusnya," jelasku berharap ia menerima alasanku.

"Berani kamu ya, membantah perkataan suami!" Bang Faiz murka.

"Maaf." Air mata meluncur tanpa dapat kutahan. Aku memang tidak bisa dibentak, langsung menangis.

"Pakai nangis segala, aku nggak akan merasa kasihan melihat air matamu itu. Cepat buatkan kopi, aku mau ngopi sejak pagi harus menunggu kamu pulang dulu."

"Aku mandi dulu sebentar ya, Bang."

"Nggak usah pakai mandi-mandi dulu, kelamaan. Buatkan sekarang!"

"Iya, iya ... Bang."

Aku mengusap air mata menuju dapur, menjerang air di atas kompor. Mencuci piring kotor yang telah menumpuk dan mengeluarkan aroma tidak sedap akibat sisa makanan yang tidak langsung dibuang. Salah satu kebiasaan Bang Faiz meski telah kuperingatkan berkali-kali.

Aku bergegas menyiapkan gelas berukuran besar dan menuangkan beberapa sendok kopi serta gula. Bang Faiz suka kopi yang kental dan manis. Salah sedikit bisa melayang gelas berisi kopi yang kuberikan padanya.

"Ini, Bang kopinya. Aku mandi dulu."

"Eh, mau kemana? Duduk dulu sini!"

"Ada apa, Bang?"

"Sini hapemu!"

"Buat apa?"

"Berikan saja!"

Bang Faiz merampas ponsel dari saku baju seragamku. Aku bahkan belum sempat berganti pakaian, masih mengenakan seragam perawat dari sebuah rumah sakit tipe D tempatku bekerja.

"Siapa ini yang kirim pesan, pakai nanya dinas apa segala?" selidiknya penuh curiga.

"Itu Rina, Bang."

"Kenapa tidak ada namanya?"

"Gimana ada namanya kalau setiap hari Abang hapus semua kontak yang ada di hapeku."

Setiap malam saat aku tidur, Bang Faiz menghapus semua kontak di hapeku, menyisakan satu kontak saja, hanya kontaknya.

"Sudah jangan banyak protes. Sana, mandi! Bau keringet."

Bagaimana tidak? Aku setiap pulang harus rela berdesakan naik bus, dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot menuju ke rumah. Bang Faiz hanya bersedia mengantarku saja, itu pun terpaksa karena aku berangkat malam. Ia tidak bersedia menjemput, tidak mau aku jadi manja katanya.

"Iya, Bang. Hapenya biar aku cas dulu, batrenya tinggal sedikit." Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

"Nggak usah. Biar saja mati, supaya kamu tidak main hape terus." Bang Faiz merampasnya kembali.

"Iya," jawabku pasrah.

Aku berlalu hendak menuju kamar mandi di belakang. Kami tinggal di sebuah kontrakan dengan dua kamar tidur, satu dapur, dan hanya ada satu kamar mandi di belakang.

"Habis mandi layani aku, semalaman aku menunggumu!" ujarnya keras.

"Bang, aku capek." Aku menoleh padanya, menghentikan langkah.

"Berani menolakku? Katanya belajar agama? Berani-beraninya kamu menolak ajakan suami." Bang Faiz menahan amarah, wajahnya terlihat tidak senang.

"Tapi ...." Aku berusaha bernegosiasi.

"Sana, cepat!" Bang Faiz memotong cepat, tak mau mendengarkan.

"I ... iya, Bang." Aku benar-benar berlalu, masuk ke dalam kamar mandi. Kunyalakan keran agar tak terdengar isak tangis yang sejak tadi kutahan.

Beginilah nasibku setelah menikah dan jauh dari sanak saudara. Bang Faiz membawaku merantau ke ibu kota, pekerjaannya sebagai supervisor di sebuah pabrik sepatu, menjanjikan masa depan yang cerah tadinya. Tetapi karena perangainya yang buruk, ia dipecat dan kini bekerja serabutan di terminal. Menjadi calo dan mencari penumpang setiap hari. Tak jarang ia ribut, dan berkelahi dengan preman terminal demi mempertahankan penumpangnya.

Sedikit membuatku khawatir sebenarnya, aku sudah berusaha meminta Bang Faiz bekerja di bidang lain saja. Sayangnya, ia lagi-lagi tidak mau mendengarku. Menurutnya, pekerjaannya saat ini yang paling cocok baginya, ia tidak bisa bekerja di bawah pengawasan orang lain karena ia suka bersikap semaunya.

"Rimaaa!" teriaknya saat aku mengenakan handuk.

"Iya, Bang." Aku bergegas membuka pintu kamar mandi.

"Cepat, ke mari. Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama," pintanya dari dalam kamar kami.

Duh, gusti. Dosa apa yang telah kulakukan hingga mendapat ujian seperti ini?

Bersambung

#CeritaHayati

Comments