CERITA KOMEDI TITIPAN BELANJA CERITA HUMOR
#Komedi
Titipan Belanja
****
Baru saja hendak menggelindingkan dua roda kesayangan, mendadak lengkingan fals Gina terdengar dari dalam rumah.
"Pa ... tunggu, Pa!" Tergopoh-gopoh ia berlari. Kedua tangannya berlumuran tepung adonan kue. Saat libur kerja, Gina memang acap kali berkreasi di dapur, menyalurkan hobi mengutak-atik menu makanan.
"Ada apa, Ma? Kan tadi sudah pamit," tanyaku heran.
"Iya. Habis dari bengkel, trus ... Papa mau ke mana?"
"Pulang."
"Nah, sekalian mama nitip, ya. Mama gak bisa ninggalin dapur, nih. Takut gosong. Bisa ya, Pa?" pintanya beralasan.
"Ya, bisa. Titip apa?" Kalau pun kujawab tidak bisa, tetap saja ujung-ujungnya harus bisa.
"Sebentar ... sebentar." Gina berbalik ke dalam.
Tak berapa lama, ia keluar lagi, lalu mengulurkan secarik kertas bergaris. Entah, kertas dari buku mana yang disobek. Buku tulis Anggia, mungkin. Tadi kulihat anak semata wayangku itu sedang belajar di ruang tamu.
"Tuh, udah mama tulis, dikit kok," tunjuknya, "Jangan sampe salah, lho!"
Kulirik catatannya sekilas. Hanya dua item saja. Telor dan ayam.
"Yaelah, pakek dicatat segala."
"Kalo disebut, Papa suka salah dengar." Aku meringis. Beberapa kali memang kerap kejadian seperti itu.
"Dih! mama aja yang suka salah sebut," ujarku membela diri. "Uangnya?"
"Tangan mama belepotan tepung, ribet ngambil di dompet. Pakek uang Papa aja dululah." Ada saja alasan. Padahal, jatah uang belanja sudah kuserahkan semua padanya.
"Ya sudah." Aku mengalah. Untuk istri sendiri, tak mengapalah. Itung-itung sedekah.
"Pergi dulu, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabnya.
"Gak pakek lama ya, Paaa!" Teriakannya sempat kudengar, beradu dengan erangan mesin motor.
****
Bengkel resmi milik Koh Lim bertempat di salah satu barisan ruko tidak jauh dari perumahan.
Tak butuh waktu lama berada di sana, sekadar mengganti oli saja.
Selesai dari koh Lim, aku menuju area pasar. Gina pernah bilang, kalau beli ayam potong, sebaiknya di pak Haji Miun saja. Ayamnya lebih segar serta harga yang ditawarkan relatif lebih murah. Selesai parkir, aku segera menghampiri kios di sisi kiri pintu masuk. Tampak sejumlah pembeli masih mengantri meskipun hari sudah beranjak siang.
Kurogoh kantong celana kanan, tempat menaruh kertas catatan dari Gina tadi. Terhenyak sadar setelah kubaca ulang. Ternyata jumlahnya lumayan banyak, meskipun yang tertera hanya dua item.
Untuk apa Gina belanja sebanyak ini?
Tak berniat untuk menelepon Gina, langsung saja tanganku memilah-milah telor dan ayam kampung potong yang masih terlihat segar. Asisten pak haji mengambil alih melayaniku.
Satu plastik ukuran besar dan dua kerat telor disodorkan kepadaku. Berat juga. Aku membayangkan rimpungnya Gina ķalau belanja sendirian.
"Berapa semua, Pak Haji? " tanyaku sedikit was-was, takut lembaran rupiah yang kubawa tidak mencukupi.
Telunjuk Pak Haji Miun bergerak lincah menekan tombol angka pada kalkulator. Hasil terakhir diperlihatkan kepadaku. Enam lembar uang bewarna merah dan satu lembar biru, segera berpindah tangan. Mencelos juga melihat dompet seketika tipis mendadak.
****
"Assalamualaikum, Ma ...."
Aroma kue menyeruak penciuman. Wanginya mengundang liur. Di atas meja dapur sudah tersuguh kue-kue yang sudah mateng. Tak sabar kucomot satu dan segera memasukannya ke mulut. Rasanya enak.
"Waalaikumsalam. Eittt, cuci tangan dulu, Pa!"
"Iya ... iya. Nih!" Kuserahkan plastik besar hasil belanjaan ke Gina. "Banyak bener, Ma. Ada acara apa?"
Alis Gina bertaut ketika melihat isi plastik besar itu.
"Lho, Pa. Kok ada ayam kampung segala. Perasaan tadi mama gak nitip, deh."
"Ah, masak sih, Ma. Wong jelas-jelas catatannya begitu." Kali ini aku yang ragu. Apa iya, ya?
Syukur masih ada kertas bukti titipan di kantong celana. Kubaca ulang. Betul.
"Nih, coba Mama lihat!" Gina pun melihatnya kembali.
"Astaga, Pa. Masa gak ngerti?" Gina membuatku bingung. Salahku di mana?
'Telor ayam negeri dua kg
---- ayam kampung sepuluh'
"Garis panjang di bawah telor itu artinya 'telor' juga, Pa. Telor ayam kampung," jelasnya sedikit menaikkan nada.
Apa? Baru tau kalo garis panjang itu artinya 'telor'.
"Ya Salam. Makanya, kalo nulis itu yang jelas," protesku jengkel. Bagaimana tidak, uang ratusan ribu melayang akibat belanja yang tidak penting.
Tiba-tiba Anggia muncul. "Asyeek ... makan besar, nih." Komentar anak SMP itu membuat Gina dan aku sama-sama bersungut kesal.
"Auh, Ah!" Spontan kami sama-sama menjawab.
Aku menuju ke depan meninggalkan bungkusan ayam kampung yang entahlah, mau diapakan sama Gina.
Anggia terlihat terkekeh-kekeh menyaksikan drama salah paham antara aku dan ibunya.
"Sana, bantuin mamamu!" Syukur tak kutimpuk kepala bocah itu dengan kue Gina.
-end- by S. Eleftheria.
Comments
Post a Comment