SUAMI JADI TEMAN CEK CERITANYA
SAHABAT JADI SUAMI
Cerita ini tayang sampai tamat di KBM App
#SJS15 POV ZAIN
Ide untuk pergi dan memblokir semua akses komunikasi dengannya adalah ide terburuk serta kesalahan besar yang pernah kuambil. Bagaimana tidak, jika setiap saat aku begitu tersiksa dan selalu merindukannya.
Aku begitu berambisi untuk dicintai. Merasa tidak cukup telah memiliki. Sehingga berubah menjadi sangat kekanak-kanakan.
Bagaimana dia membalas sentuhanku pada malam itu, menunjukkan betapa dia memiliki cinta yang besar di hatinya. Namun, mengapa tidak pernah ada kata yang terucap untuk mengakui semua itu?
Sejenak aku berpikir bahwa hal itu hanya perasaanku saja. Hanya harapan sepihakku saja. Namun, di sisi lain aku menyangkal. Bagaimana mungkin semua kelembutan yang begitu alami itu dapat tercipta tanpa ada cinta sama sekali?
Aku butuh pengakuan. Ada semacam rasa sakit ketika dia bersikap begitu manis, seperti benar-benar penuh cinta, tapi tetap bertahan dalam diam. Ibarat komunikasi yang diblokir. Aku tidak bisa mengakses perasaannya. Maka dari sinilah ide bodoh itu muncul.
Jika memang ada cinta di hatinya, dia pasti akan merasakan sakitnya komunikasi yang terblokir.
Namun, aku salah. Ternyata aku yang sakit atas semua ini. Berbagai cara kutempuh untuk menepis hadir bayangnya. Membuang rindu agar kuat melewati hari jauh darinya. Kucoba menghibur diri, dengan tenggelam ke dalam materi-materi kuliah. Ternyata itu semua tak membuatku bisa melupakannya. Kuliah S2 ternyata sangat santai. Jadwal tatap muka hanya tiga kali dalam seminggu. Meskipun ada banyak tugas yang harus diselesaikan pada hari lainnya, tetap saja waktu untuk mengingatnya cukup banyak.
Pernah mencoba menghibur diri bersama teman-teman, mengunjungi beberapa tempat wisata untuk menepis benak yang terus mengingatnya, tapi hasilnya nihil. Hanya dia yang mengisi setiap embusan napas.
Hingga akhirnya aku sadar, tidak seharusnya begini. Pernikahan kami juga baru memasuki bulan-bulan awal. Masih perlu banyak penyesuaian. Sebagai suami, seharusnya aku bisa lebih bersabar. Menjadi pendorong ketika ia ragu, termasuk ragu untuk bicara. Menjadi teladan saat ia bingung, bukan justru menghilang tanpa kabar. Suami seharusnya selalu ada bersama istri dalam kondisi apapun. Membimbing ketika mungkin tak sesuai jalan bukan justru meninggalkan.
Hari ini, rindu begitu menggebu. Begitu dahsyat dari biasa. Rasanya ingin terbang saja kembali padanya.
Rasa bersalah telah pergi tanpa kabar juga kian menjadi. Hati menjadi tidak tenang. Gelisah semakin menghantui. Kemudian muncul rasa tak nyaman. Seperti khawatir, cemas, dan takut telah terjadi sesuatu padanya.
Saat itu juga kuputuskan mengakhiri drama yang kubuat sendiri. Aku harus mengetahui kabarnya. Bertanya apakah dia baik-baik saja? Memastikan tidak terjadi hal yang buruk.
Hatiku berdebar ketika membuka blokir namanya. Perlahan jari menekan tombol hijau, melakukan panggilan seluler. Berbagai rasa berkecamuk. Marah, malu, mengutuk diri sendiri.
Gelisah bertambah ketika semua panggilan berakhir tanpa jawaban. Jantung berdegup karena takut. Perasaan benar-benar tak menentu.
Aku terus mengulang panggilan, hingga akhirnya terdengar juga jawaban dari seberang.
“Sayang ...,” sapaku tak sabar.
“Ini bukan Cahaya, ini Umak.” Deg. Umak? Mengapa Umak memegang ponsel Cahaya? Ke mana dia? Apa yang terjadi padanya? Berbagai tanya yang mengarah pada pikiran buruk berputar-putar di kepala.
“Cahaya ada, Mak?” Aku mencoba tenang.
“Cahaya, sedang di rumah sakit. Tiba-tiba pingsan.” Serasa limbung mendengarnya. Pingsan? Ada apa dengannya? Apa dia juga begitu tersiksa dengan keadaan ini sehingga menjadi sakit?
Aku mengenalnya sejak lama. Belum pernah sekalipun mendengar dia pingsan apalagi sampai dibawa ke rumah sakit.
Aku menutup panggilan. Berganti membuka kotak pesan. Tak terhitung pesan seluler yang masuk. Berbagai tanya darinya. Berbagai ungkapan sesal dan maaf atas kesalahannya. Juga pengakuan bahwa dia mencintai dan merinduku. Serta permohonan agar aku kembali.
Serentetan pesan yang sama juga masuk melalui aplikasi WhatsApp.
Aku mengutuk diri sendiri. Kebodohan apa yang telah kulakukan, sehingga Cahayaku sakit. Cinta seperti apa yang kuagungkan untuknya, yang justru menyiksanya. Tidak berpikir panjang, kuputuskan pulang. Persetan dengan kuliah dan tugas yang harus dikerjakan. Cahaya lebih penting. Separuh jiwaku, belahan hatiku, di sana sedang sakit, sedang membutuhkanku.
Aku segera memesan taksi online untuk mengantarku ke bandara. Dalam perjalanan, aku mencari tiket, memilih penerbangan tercepat yang masih bisa kukejar. Andai saja pintu Doraemon itu nyata, aku akan menggunakan jalan itu agar bisa menemuinya saat itu juga.
Setelah magrib, saat aku masih menunggu jadwal keberangkatan, ia menelepon. Kujawab dengan rentetan pertanyaan tentang kekhawatiran akan kondisinya, tapi dia hanya menjawab dengan memanggilku singkat, gugup, dan diiringi isak.
“B-bang ....”
Hatiku perih. Suaranya yang lemah dan bergetar terasa mengiris.
Ya Tuhan ....
Begitu dalam kebodohanku telah melukainya.
Tak pelak, semua itu membuat rasa bersalah kian besar. Sesak rasanya. Aku hanya bisa mengucap maaf dengan sesal yang sangat dalam.
“Maafkan Abang,” pintaku lirih.
Dia hanya diam, mungkin sedang menangis. Dalam waktu bersamaan, petugas bandara memberi kode agar penumpang masuk pesawat. Sehingga aku terpaksa memutus teleponnya.
Aku tiba di bandara Supadio sekitar pukul 8 malam. Tidak ada bagasi, aku hanya membawa tas ransel yang biasa digunakan, sehingga lebih cepat keluar dari bandara. Selanjutnya aku mencari travel yang akan mengantar ke Ngabang, dan itu tidak mudah. Ngabang kota kecil, tidak banyak yang melakukan perjalanan ke sana. Sehingga tidak setiap saat transportasi tersedia.
Akhirnya, aku mencoba menghubungi teman-teman semasa kuliah S1 dulu. Berharap mereka mau meminjamkan kendaraan untukku. Beruntung, teman pertama yang kuhubungi langsung bersedia meminjamkan mobilnya.
Dini hari, aku tiba di kota kecil ini dan langsung menuju rumah sakit daerah, di mana Cahaya dirawat. Setelah melakukan negoisasi dengan petugas keamanan. Menjelaskan bahwa aku baru tiba dari luar kota, dan di dalam sana istri yang sedang sakit, akhirnya aku diijinkan masuk.
Hatiku berdebar ketika kaki mulai memasuki bangsal. Jantung berdegup tak karuan. Ketika pintu kamar rawat terbuka, aku tertegun sejenak memandangi tubuhnya yang terbaring lemah di atas ranjang. Dia tertidur pulas, dengan jarum infus tertancap di pergelangan tangan.
Mataku memanas.
“Maafkan Abang, Cahaya,” bisikku lirih di telinganya. Dia bergeming.
Haru .... Akhirnya rindu dendam ini terbalaskan. Ingin rasanya segera kupeluk tubuh itu, erat. Membangunkannya, mengucap beribu maaf atas segala kebodohan. Berjanji akan selalu menjaganya, tidak akan pernah kuulangi lagi kebodohan terbodoh ini. Namun, aku tidak mau mengganggu istirahatnya.
Aku hanya membelai rambutnya lembut, mengusap pelan wajahnya dengan punggung tanganku. Menatap penuh rindu wajah gemasnya.
Dia hanya menggeliat ketika kukecup keningnya, refleks membalas ketika kugenggam erat tangannya. Namun, matanya tetap terlelap.
Aku terus memandang wajah gemasnya dengan getar-getar rindu yang kubawa.
“Cahaya, Abang pulang.”
Menjelang subuh, aku memutuskan pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Merapikan penampilan yang berantakan semenjak jauh darinya. Meminta Umak dan Abah yang menjaganya agar merahasiakan kepulanganku, memberikan surprise ketika kelak ia terbangun.
======
Assalamualaikum. Happy ya, kak. Zain udah kembali. Mereka akan punya baby. Pokoknya happy.
Jadi saya mohon pamit, ini pertemuan kita terakhir. Jika masih ingin dibucinin sama Babang Zain, silakan ke 5 Bab terakhir di KBM App. Di sana bacanya pakai koin ya kak. 1 part seribu lima ratus.
Terima kasih atas perhatian untuk cerbung ini. Semoga kita selalu bahagia dan penuh cinta seperti Zain dan Cahaya.
Terima kasih pula untuk kakak yang bersedia mampir di kbm app saya. Semoga selalu dimurahkan rezeki, berlipat ganda.
Cerbung ini juga dalam otw cetak. Jika ada yang berminat, silakan japri. Tipis saja, masuk kategori novella.
Sampai jumpa di cerbung selanjutnya, yang gak kalah mbaperi, Love Me, Sersan!
😘😘😘
Comments
Post a Comment